Tuesday, February 12, 2008

VALENTINE, BUDAYA SIAPA?

Tiga hari lagi, akan datanglah hari yang ‘paling digandrungi sebagian muda kita. Hari kasih sayang, yang jatuh tepat pada tanggal 14 Februari.

Maka semakin banyaklah para muda yang sibuk mencari moment yang tepat guna mengungkapkan kasih pada gadis yang sudah lama ditaksir atau pemuda yang sangat lama menghuni dada, tentu saja dengan satu tujuan: agar ketika merayakan valentine tak lagi sorangan.

Alkisah, ada seorang gadis cantik tinggal di sebuah negeri yang juga cantik dan seorang pemuda yang menghuni negeri sebelah. Pada suatu pertemuan mereka bersua dan jatuh cinta, tetapi apalah daya karena undang-undang negeri mereka tidaklah mengijinkan keduanya bersanding dalam suatu pelaminan karena perbedaan kasta.

Segala upaya mereka lakukan demi menyatukan cinta mereka yang suci. Sayang sekali, segala manusia yang mereka temui mengangkat tangan, “maaf saya tak mampu membantu!”

Tanpa putus asa mereka terus mencari dan menemukan jalan pada akhirnya. Seorang pendeta bernama Valentino terharu-biru dengan kisah kasih mereka dan akhirnya dengan kekuasaan yang diberikan padanya bersedia menangkupkan tangan mereka.

Pasangan baru itu lega dan berbahagia. Tuntaskah masalahnya?
Ternyata TIDAK!

Sang pendeta dihujat karena melanggar sumpahnya untuk bersetia kepada aturan dan peraturan yang dulu, mungkin saja, diyakininya. Siapa yang melanggar aturan tentu saja menrima imbalannya, apa imbalan bagi orang yang menyatukan sebuah cinta? Penghormatan? Pemujaan? Penghargaan?

Terimakasih dan segala atributnya mungkin disampaikan oleh pasangan yang dipersatukannya. Tapi tidak bagi dewan yang berkuasa. Hukuman yang tepat baginya hanyalah: pancung!
Mengenaskan? Tentu saja.
Seorang yang berani menolong sebuah kasih mengapa justru menjadi terhukum.

Kisah itu hanyalah salah satu versi mengapa valentine dirayakan. Dengan kata lain hari ditetapkannya hukuman bagi Pendeta Valentino kemudian diingat sebagai hari valentine untuk menghormati dan menghargai keberanian pendeta Valentino dalam menentang tirani demi membela kasih sayang. Karena itulah kasih sayang layak dirayakan.

Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang layak untuk merayakannya? Semua orangkah atau hanya para muda? Orang yang memiliki sang pendeta-kah atau semua yang bahkan tak memiliki pendeta?

Dalam ajaran Islam, tidak ada pembedaan itu. Manusia tidak memiliki kasta di depan Allah. Manusia tidak memiliki tingkatan kedudukan karena yang membedakan manusia satu dan manusia lain hanyalah amalan mereka, kebaikan mereka, ketaqwaan mereka dan aplikasi keimanan dalam kehidupan mereka.

Jadi tentu saja, siapapun mereka selama memiliki keimanan yang sama boleh saja berupaya memperluas silaturrahim, memperluas kasih sayang antar sesama manusia dalam ikatan pernikahan. Kasih sayang dirayakan setiap hari, setiap saat, setiap kali para muslim bertemu sesama ketika berjamaah di masjid; karena setiap detik berarti kasih sayang.

Jadi jelaslah bahwa valentine bukan budaya Islam, bukan budaya para muslim, karena valentine dirayakan untuk menghormati Pendeta Valentino.

SO?
Masihkah para muslim merasa perlu merayakannya?

(ayya, 11 February 2008. 05.10 PM)

Friday, February 01, 2008

PASANGAN BEDA AGAMA? YES OR NO?

Bagi sebagian besar orang, era kebebasan sangatlah menyenangkan karena mereka benar-benar dapat merefleksikan kebebasan mereka pada apapun. Apalagi ‘hanya’ pada kebebasan menentukan pasangan. Jika dulu isu yang terdengar berkisar pada perjodohan yang tak dapat dihindari oleh si anak, larangan orang tua karena si calon tidak memenuhi ukuran bibit, bobot dan bebet yang tepat mungkin sekarang isu itu sudah banyak bertambah.

Pada prosesnya, yang banyak terdengar sekarang adalah perbedaan keyakinan antar pasangan. Sebagai figur sosial, mungkin penyatuan cinta para artis bisa menjadi gambaran kasarnya. Penyatuan dua orang berbeda keyakinan pada zaman orang tua-ku mungkin diwakili oleh pasangan artis Lidya Kandow dan Jamal Mirdad.

Pada dekade kakak-kakakku ternyata semakin banyak pasangan berbeda keyakinan yang menyatukan cinta mereka. Dimulai dari Ira Wibowo (agamanya yang bener apa sih? Islam atau Protestan :D ?), Yuni Shara, sampai generasi di bawah mereka: Amara Lingua dan seterusnya.

Beda yang paling besar mungkin jika pada kasus pertama, para anak ‘hanya’ berhadapan dengan orang tua, pada kasus kedua para anak justru harus berhadapan dengan agama. Dengan agama?
Tentu saja! Karena dalam sebuah agama tentu ada aturan dari sesembahan, apalagi untuk sebuah pernikahan. Seperti, “yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, tidak ada yang bisa memisahkan” artinya suami istri tidak boleh bercerai bagi pasangan Katholik. Bagaimana dengan pasangan muslim?

Perceraian memang bukan sesuatu yang diharamkan oleh Allah, tetapi juga bukan berarti sesuatu yang begitu saja boleh dilakukan dan begitu saja boleh diputuskan. Kembali pada pernikahan beda agama, apakah ada aturan khusus pada setiap agama?
Pada kala sebelumnya, manusia Indonesia dipersulit bahkan tidak diijinkan menikah antar agama tentu ada alasannya. Pada saat itu penyesuaian antar agama tidak dilaksanakan sejauh saat ini, yang ada ‘baru’ toleransi antar ummat beragama sendiri. Artinya toleransi itu terbatas dalam penghormatan jika masing-masing agama merayakan hari besar mereka, misalnya.

Dalam agama Islam sendiri, pernikahan antar agama memang diijinkan bagi sebagian lain dan dilarang bagi sebagian yang lain. Kok beda? Pernikahan beda keyakinan ‘memang’ masih diijinkan bagi lelaki muslim dan perempuan non muslim, dengan harapan sebagai pemimpin rumah tangga laki-laki muslim bisa dan mampu memperlakukan perempuan istrinya dengan baik, penuh penghormatan dan bertanggung jawab.Itupun hanya dengan perempuan-perempuan ahli kitab. tetapi dengan begitu, pernikahan tersebut adalah syah menurut agama Islam.

Sebaliknya perempuan muslim yang menikahi lelaki non muslim adalah berzina!
Kok bisa? Dalam Al Qur’an aturan itu diberikan Allah melalui surat ke 2 ayat 221 tentang larangan menikah beda agama. Jadi, tentu saja hukum akhirnya menjadi zina. Tetapi mari kita lihat lebih jauh, mengapa Allah tidak mengijinkan perempuan Islam menikahi laki-laki non muslim?

Pertama, perempuan istri ‘harus’ taat pada suami. Jika suatu ketika, misalnya, sang suami sedang merayakan hari ketuhanannya. Jika suami meminta, Istri tentu mau terlibat dalam persiapannya. Padahal itu berarti bukan sekedar penghormatan kepada suami dan pemeluk agama lain, tapi juga mendukung keyakinan lain. Padahal dalam Islam, surat ke-109 ayat 6, menyebutkan “bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
Artinya penghormatan itu hanya sebatas tidak mengganggu mereka melaksanakan agamanya, bukan ikut serta melaksanakan kepercayaannya. Termasuk didalamnya larangan mendukung sekecil apapun terhadap pelaksanaan keagamaan itu, contohnya ikut menyiapkan panggung atau memberi selamat.

Perempuan istri juga lebih rawan untuk berpindah agama mengikuti suami. Jika mereka sudah dikaruniai anak-anak yang lucu, misalnya, kemudian suatu hari suami memberi ultimatum ‘mengikuti agamanya atau bercerai dan terpisah dari anak-anak’.
So? Mungkin kita bisa lebih bijak memilih pasangan hidup yang (semoga) cukup sekali! (dari pada harus berzina seumur hidup?)

(Ayya, 29 Januari 2008)