Sunday, July 19, 2009

Negeri Para Pezina (?)

Saya tidak tahu hukum apa yang berlaku di negara tetangga negeri impian ini. Saya kira sebuah hukum diberlakukan untuk sebuah kemaslahatan, sebuah kebaikan bagi seluruh ummat manusia. Apalagi jika itu berjuluk hukum dari Allah, tuhan segala tuhan manusia. Lalu saya mendengar sebuah media memberitakan sebuah penggerebekan atas perbuatan tuna susila yang dilakukan oleh dua orang manusia yang berbeda jenis. Hukuman apakah yang tepat untuk dua makhluk yang sedang berasyik-masyuk itu? Cukuplah jika mereka dinikahkan saja, apalagi jika kemudian ada jabang bayinya. Mereka justru mendapatkan selamat atas karunia yang dipercayakan kepada mereka. Jadi?

Ternyata hukum yang berlaku atas mereka adalah hukuman sosial, bukan hukum Tuhan. Dengan kata lain, secara hukum yuridis perbuatan itu adalah syah, karena mereka melakukannya berdasarkan suka sama suka. Dan karena tidak ada yang merasa dirugikan maka itu juga tidak masuk hukum perdata, apalagi pidana.

Kemudian muncul cerita tentang pernikahan dini, pernikahan dibawah umur. Atau seperti itulah pemerhati anak mengatakannya. Hak anak harus dilindingi, anak tidak boleh tercerabut dari dunianya dan sebagainya. Yang mengherankan saya tentu saja kemudian adalah hukuman yang diberlakukan atas mereka. Padahal mereka suka sama suka, padahal restu orang tua dikantonginya (itu kan syaratnya). Yang salah hanyalah usia si gadis yang menurut undang-undang manusia masih “balita”, padahal dia sudah lama mengalami menstruasi pertama.

Barangkali hukuman itu benar, karena tentu saja mereka menyalahi aturan negara tempat mereka tinggal. Tetapi sebuah pertanyaan kemudian menggelitik benak saya:

kasus I:
disebuah talk show ditampilkan seorang ayah yang tidak dihukum padahal dia menggauli putrinya sejak anak gadisnya berusia 9 (sembilan) tahun.


Kasus II:
seorang pengusaha dihukum karena dia menikahi gadis berusia 13 (tiga belas) tahun. Apakah kejadian itu sesuai hukum?

Pertanyaan besarnya kemudian adalah: apakah Hukum justru melindungi para pezina dan menghukum pelaku syari’ah?

Astaghfirullah, jika benar begitulah pemimpin di negara tetangga negeri impian itu mengatur hukum mereka apakah mereka sengaja akan membangun negeri para pezina?

HAREEM: POTRET KELUARGA MUSLIM DALAM SINEMA?

Penggemar karya sinema tentu tidak asing dengan berbagai suguhan sinema khas Indonesia. Mulai dari tayangan drama televisi berseri yang memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Atau suguhan layar perak yang saat ini tengah menggeliat dari tidur panjangnya.

Sebut saja film yang diangkat dari novel Abidah Al Halieqi berjudul “Perempuan Berkalung Sorban” yang ramai dibicarakan. Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini menuai protes dari berbagai kalangan, terutama kalangan pesantren karena dianggap tidak mencerminkan nilai Islam sesungguhnya. Padahal sang sutradara sendiri sangat yakin bahwa justru nilai yang diangkat dalam karya itulah yang seharusnya digunakan. Bahwa perempuan tidak hanya tersekat dalam dinding rumah.

Salah satu hal yang menyebabkan persoalan ini akhirnya naik ke permukaan adalah kurangnya pemahaman tentang konteks keislaman, yang menyedihkan justru ketidaktahuan ini dialami oleh ummat Islam sendiri. Jika demikian itulah potret yang diumumkan dalam media, tentu tidaklah mengherankan jika penganut agama lain menganggap Islam adalah agama yang yang tidak adil dan tak mengenal kasih sayang. Mari kita mencoba melihat salah satu sinetron yang pernah ditayangkan salah satu stasiun teve swasta nasional.

Seorang lelaki muslim tentu saja halal dan dihalalkan oleh Allah menikahi lebih dari satu perempuan muslim, tentu saja dengan berbagai syarat sesuai syari’ah. Termasuk diantaranya bagaimana suami mampu berbuat adil pada para istri-istrinya; dan adil tidak hanya dalam pemenuhan materi tetapi juga pemenuhan non materi. Dan apakah potret keadilan itu yang disuguhkan?

Umat Islam layak merasa kecewa ketika menyaksikan tayangan itu, bahkan jika hanya salah satu serinya. Jika informasi yang didapat (terutama oleh para istri dan perempuan calon istri) adalah suami yang menikahi lebih dari satu perempuan akan bersikap tidak adil pada istri-istrinya, seorang suami yang menikahi lebih dari satu istri sangatlah payah sehingga dia akan gampang marah meledak-ledak pada istri-istri dan atau anak-anaknya, maka tidaklah mengherankan mengapa seorang kiai yang menikah kembali secara syah justru tidak mendapatkan simpati dari para ibu.

Padahal sungguh kekerasan, ketidakpercayaan seorang suami pada istrinya yang diangkat dalam sinema itu sangatlah tidak Islami. Lalu mengapa tak ada seorangpun yang berteriak menghentikannya? Apakah karena tayangan yang disaksikan keluarga setiap hari dianggap tidak akan memberikan pengaruh pada para penontonnya?

Jika adegan kekerasan oleh seorang suami yang selalu berjubah yang selalu disuguhkan pada para pemirsa, maka tidak heran jika predikat teroris melekat pada ummat Muhammad. Padahal menurut hemat saya jika anggapan miring yang tidak benar melekat pada sebuah masyarakat Islam, harusnya sinema-sinema yang mengusung Islam dalam suasananya benar-benar memotret kehidupan muslim yang sesungguhnya. Mungkin kita tidak akan mampu menerapkan semua pola hidup yang dilakukan Rasulullah S.A.W. tapi bisakan kita mereduksi kekerasan yang sama sekali tidak diajarkan dalam Islam pada karya-karya sinematografi?

Seperti yang sutradara Choirul Umam katakan, jika sutradara mengangkat kehidupan Islami, maka hendaknya dia memiliki penasehat dari orang yang benar-benar mengerti tentang Islam. Bukan hanya dari penafsirannya sendiri.

Lalu bagaimana dengan gambaran para muslimah sendiri? Gambaran muslimah dalam sinema sungguh sangat mengecewakan. Muslimah bahkan yang menutup rambutnya, digambarkan sebagai seorang perempuan yang selalu merasa iri, mengusung kekerasan dalam hubungannya dengan orang lain, bahkan dengan saudara seiman.

Jika sangkalan dari gambaran adegan di atas adalah, bisa saja ada muslimah keji seperti itu, manusia kan tak semuanya lurus. Mari kita perhatikan sebuah sinema lain, seorang perempuan muslim yang memutuskan menutup auratnya bahkan dia memakai cadar untuk menutupi wajah ayunya dari pandangan laki-laki bukan muhrimnya, apakah lantas akan memilih berkain kebaya yang membentuk tubuh dalam acara pernikahannya? Lebih lucu lagi, dengan berkain kebaya tapi dia masih menggunakan cadar penutup muka. Adakah seorang bercadar rela memperlihatkan bentuk tubuhnya? Lalu untuk apa tidak memperlihatkan wajah jika bentuk tubuh masih dipertontonkan?

Sekarang pertanyaannya adalah jika “Perempuan Berkalung Sorban” diharuskan melakukan banyak perubahan bahkan pencekalan tayang, bagaimana dengan “Hareem”? Betulkah itu potret seorang suami muslim? Bagaimana dengan “Muslimah”? apakah perempuan-perempuan berkerudung disana benar-benar berlaku seperti seorang perempuan muslim? Bagaimana dengan sinema-sinema “Islami” lainnya?

Mungkin segala adegan diatas hanyalah sedikit potret bagaimana sinema Indonesia menggambarkan Islam dan para penganutnya dalam sebuah karya. Dan rasanya memang ada yang harus menyikapi segala kenyataan yang selama ini merajai anggapan kita. Mungkin perlu ada batasan baru tentang keislaman (yang menunjukkan Islam sebenarnya) dalam badan sensor perfilman Indonesia. (ayy. 150309.23:20)

Tuesday, February 12, 2008

VALENTINE, BUDAYA SIAPA?

Tiga hari lagi, akan datanglah hari yang ‘paling digandrungi sebagian muda kita. Hari kasih sayang, yang jatuh tepat pada tanggal 14 Februari.

Maka semakin banyaklah para muda yang sibuk mencari moment yang tepat guna mengungkapkan kasih pada gadis yang sudah lama ditaksir atau pemuda yang sangat lama menghuni dada, tentu saja dengan satu tujuan: agar ketika merayakan valentine tak lagi sorangan.

Alkisah, ada seorang gadis cantik tinggal di sebuah negeri yang juga cantik dan seorang pemuda yang menghuni negeri sebelah. Pada suatu pertemuan mereka bersua dan jatuh cinta, tetapi apalah daya karena undang-undang negeri mereka tidaklah mengijinkan keduanya bersanding dalam suatu pelaminan karena perbedaan kasta.

Segala upaya mereka lakukan demi menyatukan cinta mereka yang suci. Sayang sekali, segala manusia yang mereka temui mengangkat tangan, “maaf saya tak mampu membantu!”

Tanpa putus asa mereka terus mencari dan menemukan jalan pada akhirnya. Seorang pendeta bernama Valentino terharu-biru dengan kisah kasih mereka dan akhirnya dengan kekuasaan yang diberikan padanya bersedia menangkupkan tangan mereka.

Pasangan baru itu lega dan berbahagia. Tuntaskah masalahnya?
Ternyata TIDAK!

Sang pendeta dihujat karena melanggar sumpahnya untuk bersetia kepada aturan dan peraturan yang dulu, mungkin saja, diyakininya. Siapa yang melanggar aturan tentu saja menrima imbalannya, apa imbalan bagi orang yang menyatukan sebuah cinta? Penghormatan? Pemujaan? Penghargaan?

Terimakasih dan segala atributnya mungkin disampaikan oleh pasangan yang dipersatukannya. Tapi tidak bagi dewan yang berkuasa. Hukuman yang tepat baginya hanyalah: pancung!
Mengenaskan? Tentu saja.
Seorang yang berani menolong sebuah kasih mengapa justru menjadi terhukum.

Kisah itu hanyalah salah satu versi mengapa valentine dirayakan. Dengan kata lain hari ditetapkannya hukuman bagi Pendeta Valentino kemudian diingat sebagai hari valentine untuk menghormati dan menghargai keberanian pendeta Valentino dalam menentang tirani demi membela kasih sayang. Karena itulah kasih sayang layak dirayakan.

Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang layak untuk merayakannya? Semua orangkah atau hanya para muda? Orang yang memiliki sang pendeta-kah atau semua yang bahkan tak memiliki pendeta?

Dalam ajaran Islam, tidak ada pembedaan itu. Manusia tidak memiliki kasta di depan Allah. Manusia tidak memiliki tingkatan kedudukan karena yang membedakan manusia satu dan manusia lain hanyalah amalan mereka, kebaikan mereka, ketaqwaan mereka dan aplikasi keimanan dalam kehidupan mereka.

Jadi tentu saja, siapapun mereka selama memiliki keimanan yang sama boleh saja berupaya memperluas silaturrahim, memperluas kasih sayang antar sesama manusia dalam ikatan pernikahan. Kasih sayang dirayakan setiap hari, setiap saat, setiap kali para muslim bertemu sesama ketika berjamaah di masjid; karena setiap detik berarti kasih sayang.

Jadi jelaslah bahwa valentine bukan budaya Islam, bukan budaya para muslim, karena valentine dirayakan untuk menghormati Pendeta Valentino.

SO?
Masihkah para muslim merasa perlu merayakannya?

(ayya, 11 February 2008. 05.10 PM)

Friday, February 01, 2008

PASANGAN BEDA AGAMA? YES OR NO?

Bagi sebagian besar orang, era kebebasan sangatlah menyenangkan karena mereka benar-benar dapat merefleksikan kebebasan mereka pada apapun. Apalagi ‘hanya’ pada kebebasan menentukan pasangan. Jika dulu isu yang terdengar berkisar pada perjodohan yang tak dapat dihindari oleh si anak, larangan orang tua karena si calon tidak memenuhi ukuran bibit, bobot dan bebet yang tepat mungkin sekarang isu itu sudah banyak bertambah.

Pada prosesnya, yang banyak terdengar sekarang adalah perbedaan keyakinan antar pasangan. Sebagai figur sosial, mungkin penyatuan cinta para artis bisa menjadi gambaran kasarnya. Penyatuan dua orang berbeda keyakinan pada zaman orang tua-ku mungkin diwakili oleh pasangan artis Lidya Kandow dan Jamal Mirdad.

Pada dekade kakak-kakakku ternyata semakin banyak pasangan berbeda keyakinan yang menyatukan cinta mereka. Dimulai dari Ira Wibowo (agamanya yang bener apa sih? Islam atau Protestan :D ?), Yuni Shara, sampai generasi di bawah mereka: Amara Lingua dan seterusnya.

Beda yang paling besar mungkin jika pada kasus pertama, para anak ‘hanya’ berhadapan dengan orang tua, pada kasus kedua para anak justru harus berhadapan dengan agama. Dengan agama?
Tentu saja! Karena dalam sebuah agama tentu ada aturan dari sesembahan, apalagi untuk sebuah pernikahan. Seperti, “yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, tidak ada yang bisa memisahkan” artinya suami istri tidak boleh bercerai bagi pasangan Katholik. Bagaimana dengan pasangan muslim?

Perceraian memang bukan sesuatu yang diharamkan oleh Allah, tetapi juga bukan berarti sesuatu yang begitu saja boleh dilakukan dan begitu saja boleh diputuskan. Kembali pada pernikahan beda agama, apakah ada aturan khusus pada setiap agama?
Pada kala sebelumnya, manusia Indonesia dipersulit bahkan tidak diijinkan menikah antar agama tentu ada alasannya. Pada saat itu penyesuaian antar agama tidak dilaksanakan sejauh saat ini, yang ada ‘baru’ toleransi antar ummat beragama sendiri. Artinya toleransi itu terbatas dalam penghormatan jika masing-masing agama merayakan hari besar mereka, misalnya.

Dalam agama Islam sendiri, pernikahan antar agama memang diijinkan bagi sebagian lain dan dilarang bagi sebagian yang lain. Kok beda? Pernikahan beda keyakinan ‘memang’ masih diijinkan bagi lelaki muslim dan perempuan non muslim, dengan harapan sebagai pemimpin rumah tangga laki-laki muslim bisa dan mampu memperlakukan perempuan istrinya dengan baik, penuh penghormatan dan bertanggung jawab.Itupun hanya dengan perempuan-perempuan ahli kitab. tetapi dengan begitu, pernikahan tersebut adalah syah menurut agama Islam.

Sebaliknya perempuan muslim yang menikahi lelaki non muslim adalah berzina!
Kok bisa? Dalam Al Qur’an aturan itu diberikan Allah melalui surat ke 2 ayat 221 tentang larangan menikah beda agama. Jadi, tentu saja hukum akhirnya menjadi zina. Tetapi mari kita lihat lebih jauh, mengapa Allah tidak mengijinkan perempuan Islam menikahi laki-laki non muslim?

Pertama, perempuan istri ‘harus’ taat pada suami. Jika suatu ketika, misalnya, sang suami sedang merayakan hari ketuhanannya. Jika suami meminta, Istri tentu mau terlibat dalam persiapannya. Padahal itu berarti bukan sekedar penghormatan kepada suami dan pemeluk agama lain, tapi juga mendukung keyakinan lain. Padahal dalam Islam, surat ke-109 ayat 6, menyebutkan “bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
Artinya penghormatan itu hanya sebatas tidak mengganggu mereka melaksanakan agamanya, bukan ikut serta melaksanakan kepercayaannya. Termasuk didalamnya larangan mendukung sekecil apapun terhadap pelaksanaan keagamaan itu, contohnya ikut menyiapkan panggung atau memberi selamat.

Perempuan istri juga lebih rawan untuk berpindah agama mengikuti suami. Jika mereka sudah dikaruniai anak-anak yang lucu, misalnya, kemudian suatu hari suami memberi ultimatum ‘mengikuti agamanya atau bercerai dan terpisah dari anak-anak’.
So? Mungkin kita bisa lebih bijak memilih pasangan hidup yang (semoga) cukup sekali! (dari pada harus berzina seumur hidup?)

(Ayya, 29 Januari 2008)

Sunday, January 06, 2008

idea

whole life he run behind the physical things and at end realize that real joy is in love with God

Friday, January 04, 2008

alat musik

TOLEAT: ALAT MUSIK KHAS SUBANG, JAWA BARAT

Pernah mendengar nama Toleat?
Jika belum, itu adalah nama sebuah alat musik serupa seruling khas Subang. Berbeda dengan seruling, batangan bambu untuk Toleat terlebih dulu dihaluskan untuk menghasilkan suara yang khas.

Alat musik ini awalnya dimainkan oleh anak-anak gembala, tetapi tak sedikit orang dewasa yang suka memainkannya. Agar menghasilkan irama yang lebih indah, Toleat bisa dimainkan dengan alat musik tradisional Subang yang lain.

(ayya, 04 januari 2008. 06.23 am)

2 friend

Mas Probo Sulistyo yang baik,aku tahu pernah berkata untuk tidak mengganggu hari-hari milik Mas Probo.
Tapi aku tidak mau terbebani oleh perasaanku, aku terlalu rapuh untuk itu.Aku tahu, tidak pernah menempati posisi yang aku inginkan: As a sister.Dan aku akan merasa sangat bahagia menemukan diriku tidak repot-repot lagi mengharapkannya.Aku mencoba belajar dari sang waktu yang begitu adil pada tiap-tiap musimnya yang datang dan pergi.Terimakasih untuk waktu-waktu berhargaku bersama Mas Probo, dan untuk dengan tulus bersedia menjadi temanku.Salam bagi Mbak Yo, aku tidak bermaksud apapun dengan tulisan-tulisanku dan terimakasih tidak memarahiku karena (pernah) merasa ikut memiliki Mas Probo.
sayang selalu, Aya.
SULAP, KEAJAIBAN, atau PIKUN?


Pernah nonton acara ‘adu’ bakat di televisi?
Kalo sempat mengamati pasti ketahuan bahwa disetiap episode yang ditayangkan selalu ada pertunjukan sulap. Dan tak jarang pertunjukan tersebut yang menang, artinya para juri menjadikannya favorit karena memang kemenangan hanya didasarkan pada subjektivitas para juri: mereka suka atau tidak suka.

Terus terang hal itu sempat mampir sebentar dibenak saya, mengapa ‘orang Indonesia’ suka pada keajaiban? Ataukah memang semua orang suka pada keajiban?

Ngomong-ngomong tentang keajaiban, saya pernah mengalaminya. Tapi yang ini bukan keajaiban tukang sulap atau ilusionis. Ceritanya, ketika menikah mei kemarin seorang bibi saya menghadiahkan sebuah cincin. Tapi karena tidak pas di jari saya menyimpannya saja.

Pada bulan ke tiga aku pindah rumah, ketika berbenah saya menemukan sebuah cincin. Keburukan saya yang paling mengesalkan adalah “sedikit underpressure” maka semakin lupalah saya. Saya jadi bertanya pada diri sendiri ‘ini cincin apa ya?’

Yang teringat adalah: dulu ketika saya masih kecil ada jajanan bipang yang menghadiahkan cincin imitasi di dalamnya. Jadi cincin kuning itu pastilah hanya imitasi seperti waktu itu. Jadilah cincin itu menempati tempat sampah!

Ketika pulang kampung, bibiku bertanya, “cincin yang bibi belikan dulu masih kegedean, ya?”

Langsung benakku bergolak, ‘cincin? Jangan-jangan cincin yang aku buang kemarin!’. Sampai di rumah benarlah cincin itu tak ada di kotaknya. Saya tak berani cerita pada ibu, pikir saya pasti ibu berkomentar, ‘dasar pelupa, kok bisa?’
Bagaimana tidak? Saya adalah orang yang selalu berpikir, ‘jangan buang ah bungkus ini siapa tahu suatu ketika nanti aku membutuhkannya.’ Jadi alangkah konyolnya kalo saya tak membuang kotak kertas permen tapi membuang cincin emas.

Satu-satunya jalan untuk menemukannya adalah berdo’a dan meminta keajaiban Allah. Dan alangkah Maha Besar-nya Allah, sebulan kemudian ketika pulang dan memeriksa kotak cincin saya telah berisi cincin itu kembali. Cincin yang sebelumnya tak saya temukan di sana karena saya telah membuangnya.

Keajaiban Allah selalu ada!
(ayya, 23 oktober 2007)

orang indonesia TIDAK bisa MEMBACA?

Tahun lalu manusia Indonesia protes pada aturan ‘dilarang merokok di tempat umum’ dan jadilah aturan itu urung diterapkan. Saat itu aku menyayangkannya, sedikit kecewa dengan tidak berlakunya aturan yang menguntungkan perokok pasif macam aku. Terus terang saja, aku sering merasa nelangsa kalau menemukan asap rokok berterbangan di sekelilingku. Bagaimana tidak? Aku akhirnya harus repot menutup hidung, mencari posisi agar lebih banyak angin mengalir ke arahku sehingga sedikit terbebas dari aroma yang menyesakkan itu.

Seringkali aku berpikir, seandainya kendaraan-kendaraan itu dibagi jadi dua mungkin lebih menyenangkan. Satu bagian khusus untuk para perokok dan satu bagian bebas asap rokok. Atau masing-masing kendaraan diberi tanda, kode atau semacamnya. Kode pertama: kendaraan bebas asap rokok, kalau mau merokok di kendaraan umum tunggu saja kode kedua: khusus para perokok dan asap rokoknya. Jadi biar asap rokok tumplek blek jadi satu dengan orang-orang yang suka menghisapnya.

Melamunkan hal itu membuat aku ingat sebenarnya masih ada beberapa tempat umum yang melarang asap rokok. Ruang ber-AC salah satunya. Tentu saja alasannya bukan karena merasa sayang pada pengguna ruangan, tapi merasa sayang pada Air Conditioner-nya! Sungguh sebuah alasan yang sangat ironis. Meski begitu aku jadi sedikit suka dengan ruangan ber-AC.

Sayangnya, hanya sedikit sekali orang yang bisa membaca kalimat penghargaan: “Kami sangat menghargai jika anda tidak merokok di dalam ruangan (ber-AC)” atau kalimat-kalimat serupa yang bertujuan sama. Saya seringkali menemukan hal itu jika pulang.

Ceritanya beberapa bulan lalu saya harus moving ke Bangkalan. Untuk pulang ke rumah ortu tentu saja harus menggunakan kapal untuk menyeberang. Saat pertama kali naik saya bersyukur karena di dinding kapal kapal ada larangan merokok dalam ruangan karena ruangan ber-AC. Hembusan nafas lega saya tak berlangsung lama karena seorang bapak di deretan kursi depan saya menyalakan rokok.

Pengalaman serupa saya temui lagi pada kepulangan berikutnya, kali itu saya beruntung karena ada mbak-mbak ABK yang mengingatkan para perokok itu. Tetapi haduh! Pada kepulangan berikutnya mata saya beredar. Di sudut kanan depan, saya melihat seorang pemuda memakai t-shirt polos sedang merokok. Saya maklum, barangkali dia tidak sekolah sehingga tidak bisa membaca tulisan penghargaan itu. Mata saya bergerak ke arah kiri, saya menemukan seorang laki-laki setengah baya berwajah perlente, berdasi dan bersepatu rapi menghisap rokoknya tepat di samping papan tulisan larangan merokok.

Saya hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dari belakang kepala saya mendadak terdengar suara geretan disusul bau tembakau menguar. Saya menoleh dan menemukan seorang lelaki muda berseragam angkatan laut tengah menyulut rokoknya. Saya jadi berpikir lagi, jika pemuda berkaos oblong tadi memang tak bisa baca, apakah ini berarti mereka semua memang tak bisa membaca?

Alangkah ironisnya jika memang semua manusia Indonesia, bahkan yang sudah sarjana, tak bisa membaca. (13 juni 2007).

Tuesday, January 01, 2008

HIJAB: MODE, TERPAKSA atau KESADARAN?

Kita tentu masih ingat beberapa tahun lalu Indonesia diramaikan dengan berita larangan pemakaian jilbab dan perjuangan para pemakainya di sekolah-sekolah. Beberapa tahun kemudian perjuangan itu sedikit membuahkan hasil.

Sedikit? Tentu saja! Kita juga tidak bisa memungkiri masih ada larangan berjilbab di sekolah di beberapa daerah. Bahkan diskriminasi terhadap umat Islam secara umum masih banyak terjadi di seluruh wilayah Indonesia.

Sebenarnya beberapa tahun lalu kita mungkin juga merasa sedikit ‘lega’ bahwa ternyata sejak saat itu semakin banyak saja orang-orang yang memakai kerudung. Coba tandai saja para artis yang banyak mendapat sorotan. Mulai dari Inneke yang sebelumnya justru menjadi symbol ‘pornoisme’ di kalangan artis saat itu.

Catat juga lady roker Indonesia yang berkerudung setelah menikah, Trie Utami. Berbagai infotainment semakin sering memperlihatkan deretan artis yang semakin banyak berkerudung. Fenomena apakah?

Fenomena apapun, kenyataan itu adalah sesuatu yang layak disyukuri. Bagaimanapun berarti semakin sedikit orang yang mengumbar auratnya. Berarti semakin banyak orang yang memiliki kesadaran akan komitmen beragamanya.

Kesadaran beragama?

Kemudian kita dapat mereka-reka ada apa sebenarnya. Waktu kemudian menjawabnya, beberapa kerudung ditanggalkan karena alasan tertentu. Perceraian misalnya, menjadi salah satu sebab kerudung dilepaskan. Disisi lain perkembangan mode kerudung bahkan seakan-akan membuat kerudung tidak menjalankan fungsi sebagai hijab.

Jilbab pada dasarnya berfungsi melindungi anggota tubuh perempuan yang dikhawatirkan akan banyak menuai kemungkaran. Jilbab merupakan kain yang terulur dari kepala sampai menutup dada. Jika kain tak menutup dada tentu tidak dapat dikatakan sebagai jilbab.

Jadi, apakah kerudung dapat difungsikan sebagai hijab atau hanya keperluan mode ataukah hanya karena sebuah komitmen dengan manusia lain?

Tentu hanya para pelaku yang bisa menjawabnya.

(ayya, 1 Januari 2008: 05.20 pm)

Saturday, December 22, 2007

IBU DAN CINTAKU

IBU dan CINTAKU


Sepatah Kata

Sejak lama aku ingin membingkiskan sesuatu bagi ibu, sosok yang membantu aku dan kita semua mengenal hidup dan dunia. Sudah lama juga saya (juga anda?) tahu begitu banyak karya-karya yang membuktikan kecintaan kita kepada ibu. Awalnya saya kumpulkan beberapa karya ini untuk saya cetak dalam bentuk sebuah catatan kecil yang bisa saya sampaikan kepada ibu sebagai bentuk kecintaan dan permohonan maaf saya.

Karena saya merasa kesulitan menghubungi berbagai pihak yang bersangkutan dengan karya-karya tersebut (saya pernah mencoba menghubungi salah satu senimannya dan tidak ada tanggapan) maka saya memutuskan untuk menyimpan saja dalam blog pribadi saya. Semoga yang sedikit ini mampu menggugah kecintaan kita pada ibu.

Saya menyampaikan terimakasih kepada pencipta kehidupan saya Allah S. W. T. yang membuat saya terlahirkan dari gua garba ibu. Terimakasih juga kepada para seniman yang telah menulis karya yang demikian indah tentang ibu.

Saya pernah menyaksikan seekor ibu kucing yang kecintaannya pada anak-anaknya membuat saya terperangah. Waktu itu saya sedang duduk di depan rumah pondokan. Di depan saya seekor induk kucing dan anaknya tengah menyantap makanan. Ketika makanan yang dihadapi si anak habis, kakinya meraih makanan yang tersisa di kaki ibunya. Tapi si ibu menggeser mundur makanan itu. Pelit?

Ternyata tidak! Seekor kucing kecil lain datang dan sang induk memberikan makanan itu untuknya. Saya takjub! Terus terang pikiran itu belum pernah mampir di otak kecil saya.

Hanya ada lima karya yang saya pajang di sini, ada sebuah buku berupa kumpulan cerpen yang bercerita tentang ibu.sayangnya saya belum mendapatkan referensinya.

Desember 2002


Bagi segala ibu
di segala Dunia
with Luv


IBU

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah

Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas, Ibu

Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai ku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas, Ibu


Note:
Sair ini ditulis dan dinyanyikan oleh Iwan Fals, bisa ditemukan dalam album “Guru Oh Guru: Guru Oemar Bakri.”


OH, MOTHER

Have I told you, you are my river
That never stop for a rest
Have I thanked you, for letting me
Come out of you, and giving me all of your best

Have I thanked you, for having our family
Without them, I wouldn’t be here

Have I told you, no matter how far I may go
All of you always are near

Oh, Mather
You given everything to me

Oh, Mather
You never ask for anything

Oh, Mather
I’m sorry for all those times
I’ve hurt you so, when all along it was really me

Have I told you
I love you forever

Have I told you
I love you always

Have I told you
The difference you make in my life
You make in your own special way


Note:
Lagu ini dinyanyikan oleh Jermaine Jackson. Bisa juga ditemukan dalam album Jazz "Late night"




KEBAYA MERAH

Kebaya merah kau kenakan
Anggun walau nampak kusam
Kerudung putih terurai
Ujung yang koyak tak kurangi cintaku

Wajahmu seperti menyimpan duka
Padahal kursimu dilapisi beludru
Ada apakah, Ibu

Ceritalah seperti dulu
Duka suka yang terasa
Percaya pada anakmu
Tak terpikir tuk tinggalkan dirimu

Ibuku, darahku, tanah airku
Tak rela kulihat kau seperti itu
Ada apakah, Ibu

Note:
Sair dan lagu oleh Iwan Fals, dinyanyikan bersama SWAMI, dapat ditemukan dalam album kedua SWAMI. Meski ibu dalam lagu ini cenderung pada simbolisasi Tanah Air, saya memilihnya karena tetap menyatakan kecintaan dan pengorbanan ibu yang harfiah.


BUNDA

Ku buka album biru
Penuh debu dan usang
Ku pandang semua gambar diri
kecil bersih belum ternoda

Pikirkupun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku

Kata mereka diriku slalu dimanja
Kata mereka diriku slalu ditimang

Nada-nada yang indah
Slalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku
Tak kan jadi deritanya

Tangan halus dan suci
Tlah mengangkat diri ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan

Oh Bunda ada dan tiada
Dirimu kan selalu ada di dalam hatiku
. . . .

Note:
Lagu ditulis oleh Melly Goeslaw, dinyanyikan oleh POTRET, bisa ditemukan dalam album POTRET II. Kemudian dinyanyikan ulang oleh seorang penyanyi cilik.


BUNGA

hari ini aku letakkan
bunga di kamar Ibu
aku,
hanya ingin Ibu tahu
Ibu, aku cinta padamu.

Note:
Saya lupa ada peristiwa estetis macam apa yang membuat saya menulis puisi kecil ini, tapi saya ingat catatan kecil ini saya tulis ketika saya masih es-em-a.



PS:
Jika punya catatan apapun, karya apapun, lagu, puisi, cerpen atau apapun tentang kecintaan pada ibu, bagi ke saya dong!!! thx b 4. thx all.