Thursday, December 14, 2006

POLIGAMI

Aku dulu pernah mendengar tentang hukum aksi-reaksi. Reaksi terjadi karena adanya aksi, jadi apapun yang terjadi adalah karena adanya reaksi yang timbul karena adanya aksi. Jadi bukan sesuatu yang mengherankan jika kita semua bereaksi pada sebuah kejadian yang sebenarnya bahkan tidak ada sangkut-pautnya dengan diri sendiri.
Yang sedang marak mendapat reaksi dari banyak orang (baca: ibu-ibu) saat ini adalah pernikahan kedua Aa Gym. Saya tidak ingin menirukan sair lagu Serius Band dengan berkata, “Aa Gym juga manusia” meski yang dilakukannya sangat manusiawi.
Saya pernah membaca sebuah cerita pendek disebuah majalah muslimah, sayangnya saya lupa judul dan nama pengarangnya, tapi saya ‘sangat’ ingat jalan ceritanya. Dikisahkan sepasang suami-istri yang berbahagia, istri yang sholikhah dan suami yang penuh kasih sayang. Dikisahkan juga seorang janda dengan dua anak yang masih kecil-kecil.
Suatu hari sang suami mengutarakan keinginannya untuk menikahi si janda dan mendapat amanah anak-anak yatim itu. Reaksi sang istri? Tentu saja tidak serta merta merestui, pasti sama seperti semua ibu-ibu lain yang tidak ingin di madu. Tapi alasan sang istri keberatan, meskipun dia hanya mengatakan akan memikirkannya lebih dulu, adalah karena membayangkan kasih suaminya akan terbagi pada perempuan lain dan dia akan kehilangan kesayangan itu.
Karena terlalu banyak memikirkannya, akhirnya sang istri jatuh sakit. Saat itu sang suami menyadari pernikahan itu akan terlalu berat bagi istrinya dan mengatakan, “Maafkan Kakak. Sembuhlah, aku tidak akan menikahinya.” Dia merawat istrinya penuh kasih sayang.
Ketika itu sang istri justru berpikir, “Alangkah baiknya suamiku, alangkah penuh kasih sayangnya dia. Ketika aku sakit aku dirawatnya dan siapa yang akan merawat janda itu jika dia sakit? Aku ikhlas suamiku menikahinya agar dia juga merasakan kesayangan dari orang yang pantas menyayanginya.”
Terus terang waktu itu saya kagum pada perempuan istri itu, betapa dia mampu berjiwa besar, ikhlas membagi apa yang dimilikinya kepada orang lain dan percaya dengan begitu dia akan mendapatkan kebahagiaan lebih dari Sang Pencipta. Karena dalam segala sesuatu terdapat hikmah yang tidak pernah kita tahu apakah itu. Saya ingin bisa seperti dia!
(tapi tentu saja karena ada alasan yang TEPAT dan BENAR untuk pernikahan itu!
Mmmmm, bukan karena _jawaban membumi ini_ “daripada berzina!”
Karena seorang muslim kan kudu pinter-pinter mengendalikan nafsu).
Jika sekarang saya menemukan ternyata reaksi orang-orang (baca: ibu-ibu) sekeras itu terhadap poligami, sampai-sampai protes pada presiden, saya jadi merasa lucu pada diri saya sendiri. Apakah benar saya bisa menjadi seperti perempuan istri itu?
Biarlah saya membiarkan waktu menjawabnya!

(ayya, 6 d3sember 2006)

Tuesday, December 12, 2006

WAKTU YANG BERHARGA

ketika kita bertemu sebuah waktu yang selalu kita ingat dalam rasa bahagia atau bangga, mungkin itu adalah waktu kita yang berharga, seberapapun kecilnya atau tidak berartinya waktu itu bagi orang lain. Kalo wisuda sarjana, misalnya, sudah tentu sebuah moment “besar” yang sangat mungkin menjadi berharga.

Tapi kita juga mungkin memiliki waktu-waktu lain yang jauh lebih berharga. Bahkan mungkin ketika terjadi saya tidak tahu bahwa waktu itu akan sangat berharga. Ketika pada tahun 1999 saya mengikuti sebuah training pendampingan, itu adalah salah satu waktu berharga yang saya miliki. Paling tidak saat itu saya dikenalkan dengan kerja sama dengan orang lain, sesuatu yang jarang benar saya lakukan sebelumnya.

Waktu itu saya juga mendapatkan sebuah pengenalan baru tentang memahami orang lain, tapi sesuatu yang lebih adalah saya mengetahui ternyata dunia saya juga dimiliki orang lain.

Waktu yang lain, adalah ketika saya merasa sakit oleh sesuatu yang dilakukan orang lain. Ketika itu terjadi disatu sisi saya merasa sangat sakit, tapi ketika luka dan kesakitan itu telah mengering saya menemukan bahwa saya mampu menjadi lebih dewasa. Saya menjadi lebih bijak dalam menyikapi sesuatu.

Jadi, yang ada dan saya sadari adalah bahwa segala sesuatu memiliki hikmah. Dan waktu yang menyakitkan mungkin justru merupakan waktu kita yang paling berharga.

Wednesday, November 08, 2006

MOTHER

The Mother

1. When you were 1 year old, she fed you and bathed you.
You thanked her by crying all the night.

2. When you were 2 years old, she taught you to walk.
You thanked her by running away when she called.

3.When you were 3 years old, she made all your meals with love.
You thanked her by tossing your plate on the floor.

4.When you were 4 years old, she gave you some crayons.
You thanked her by coloring the dinning room table.

5.When you were 5 years old, she dressed you for the holidays.
You thanked her by looping into the nearest pile of mud.

6. When you were 6 years old, she walked you into school.
You thanked her by screaming, "I'M NOT GOING".

7. When you were 7 years old, she bought you a baseball.
You thanked her by throwing it through the next-door-neighbor window.

8. When you were 8 years old, she handed you an ice cream.
You thanked her by dripping it all over you lap.

9. When you were 9 years old, she paid for piano lessons.
You thanked her by never even bothering to practice it.

10. When you were 10 years old, she drove you all day, from soccer to gymnastic to one birthday party after another.
You thanked her by jumping out of the car and never looking back.

11. When you were 11 years old, she took you and your friends to the movies.
You thanked her by asking to sit in the different row.

12. When you were 12 years old, she warned you not to watch certain TV shows.
You thanked her by waiting until she left the house.

13. When you were 13, she suggested a haircut that was becoming.
You thanked her by telling her she had no taste.

14.When you were 14, she paid for a month away at summer camp.
You thanked her by forgetting to write a single letter.

15. When you were 15, she came home from work, looking for a hug.
You thanked her by having your bedroom door locked.
16. When you were 16, she taught you how to drove her car.
You thanked her by taking it every chance you could.

17. When you were 17, she was expecting an important call.
You thanked her by being on the phone all night.ere

18. When you were 18, she cried at your school graduation.
You thanked her by staying out partying until dawn.

19. When you were 19, she paid for your college tuition, drove you to campus, carried your bags.
You thanked her by saying good-bye outside the dorm so you wouldn't be embarrassed in front of you friends.

20. When you were 20, she asked whether you were seeing anyone.
You thanked her by saying "It's none of you business".

21. When you were 21, she suggested certain careers for your future.
You thanked her by saying "I don't want to be like you".

22.When you were 22, she hugged you at your college graduation.
You thanked her by asking whether she could pay for a trip to Europe.

23.When you were 23, she gave you furniture for your first apartment.
You thanked her by telling your friend it was ugly.

24. When you were 24, she met your fiancé and asked about your plans for the future.
You thanked her by glaring and growling, "Muuhh-ther, please!"

25. When you were 25, she helped to pay for your wedding, and she cried and told how deeply she loved you.
You thanked her by moving halfway across the country.

26. When you were 30, she called with some advice on the baby.
You thanked by telling her, "Things are different now."

27. When you were 40, she called to remind you of a relative's birthday.
You thanked her by saying you were "really busy right now."

28. When you were 50, she fell ill and needed you to take care of her.
You thanked her by reading about the burden parents become to their children.

29. And then, one day, she quietly died. And everything you never did, came crashing down like thunder on your heart.

Tuesday, November 07, 2006

ARTI SEBUAH NAMA

Jika seseorang punya banyak nama panggilan mungkin akan ada yang menanyakan ‘siapa sih namanya yang benar?’ dan jawaban yang lazim terdengar adalah kalimat, ‘ah, apalah arti sebuah nama.’ Kalimat ini tentu sering aku (anda juga?) dengar.

Sebenarnya di kehidupan sebenarnya, sebuah nama sangat berarti. Dari berbagai segi hal itu masih sangat berarti. Dari segi agama, misalnya, ada anjuran untuk menamai seorang anak dengan nama yang baik. Artinya nama memiliki arti bagi anak (orang) tersebut. Jika tidak, untuk apa memberi nama yang baik?

Ada juga yang mengatakan bahwa nama adalah do’a bagi yang empunya. Katakanlah jika sang anak diberi nama ‘setan’, maka dia terus menerus dipanggil setan dan dido’akan menjadi (pengikut) setan.

Contoh yang lain, seorang teman saya bercerita mengenalkan diri dengan nama berbeda dengan ketika dia masih kuliah, karena teman-teman kampusnya memiliki panggilan khusus untuknya. Ceritanya, ketika dia digoda (dengan dipanggil) menggunakan nama yang dia perkenalkan, dia, teman saya itu tak berani menghadapi orang yang menggodanya. Dia berkata, jika aku masih dipanggil pakai nama ‘moon’ (julukannya ketika kuliah), aku berani mendatangi orang itu.

Dari cerita itu kupikir nama juga membawa efek psikologis pada yang empunya. Jadi masih benarkah kalimat ‘apa arti sebuah nama’? karena jika menurut saya mestinya kalimat itu diganti dengan, “sebuah nama sangatlah berarti bagi yang memilikinya.”

KIRIMAN TERAKHIR

KIRIMAN TERAKHIR”

Kemarin aku terima sebuah wesel,
sedikit uang dan di kolom berita
kutemukan:
aku sudah mati.


Beberapa waktu lalu aku pernah melempar sajak ini
dalam sebuah “forum” kecil, hanya para mahasiswa sekolah
profesi tahun pertama
yang kebetulan
duduk-duduk bersama menunggu waktu pulang

dan interpretasi mereka sungguh menakjubkan
mulai dari
“dia” mengirim wesel kemudian bunuh diri
“dia” berwasiat mengirimkan wesel untuk “aku”
ketika akan meninggal dan sebagainya

ketika itu aku takjub karena tidak
mengira puisi yang aku buat asal jadi
(sebenarnya bukan sungguh-sungguh asal jadi karena
terus terang aku suka puisi itu, meski tidak ada sebuah mediapun
yang bersedia memuatnya!)
itu,
ternyata mendapat tanggapan yang sedemikian “heboh”
bahkan ruang tunggu mendadak ramai tak lagi sepi karena
mereka saling berebutan menjawab

ketika di univ, teman-teman kuliahku yang mengetahui
bagaimana sastra (Indonesia, khususnya) diajarkan di sekolah
berkata saat SMA, para pelajar itu hanya dikenalkan pada karya sastra
belum (baca: bukan) pada interpretasinya.

melihat pada pengalamanku, mengapa tidak diteruskan pada
interpretasi jika mereka (yang ‘baru’ lulus es-em-a) sedemikian
merasa tertarik menginterprtasi ketika kesempatan itu ada
Tentu saja masih dengan gaya mereka….

Friday, October 20, 2006

MET IDUL FITRI

Selesai menjalani Ramadhan yang penuh Rahmat
sampailah kita di penghujung kefitrian
semoga berkah Ramadhan senantiasa tetap bersama kita
jadi..
lebih baik, lebih baik, lebih...
untuk melengkapi kefitrian
saya mengucapkan

SELAMAT IDUL FITRI 1427 H
MOHON MAAF SEGALA KHILAF
MARI KITA MENGIKHLASKAN HATI SALING MEMAAFKAN


assalamualaikum wr wb.

Thursday, September 14, 2006

kepada kau

1.
Dear 'Ka,
ini dulu aku tulis buat kakak kesayanganku
sayangnya kala itu dia sudah tak dapat lagi
me-replaynya untukku

jadi kukirim saja buatmu :D
: ) seneng deh punya teman lagi
(he he, kayak ga pernah punya teman ya!)



Mari Bicara Tentang Rasa

Kepada Pra

mari bicara tentang rasa
Pada apapun, siapapun dan bagaimanapun
untuk menyadari rasa dibutuhkan
mata hati kita
Mari bicara tentang rasaku
yang mengalir selalu dari bilik rasa
milikku
Mari bicara tentang rasa, Pra
aku tidak ingin menyimpannya
Aku tidak ingin membiarkan
hatiku lelah menahannya
Mari bicara tentang rasa, Pra
Rasaku
yang kumiliki dalam warna yang berbeda
kuberikan warna putih, hijau dan biru
mungkin coklat atau kelabu
Mari bicara tentang rasa yang
berwarna
Ada warna rasa yang sama
kubagi untuk orang yang berbeda
Aku bagi warna putih
Aku bagi warna merah
Aku bagi warna kuning
mungkin juga kubagi warna jingga
Mari bicara tentang rasa
Apakah menurutmu aku mengumbar rasa?
hanya karena aku sayang
pada orang-orang lain yang berbeda?
apakah yang membuat aku yakin rasaku
pada orang-orang itu tidak akan
berubah warna?
Bertanyalah, Pra.
biarkan aku menjawabnya
Mari bicara tentang rasa
tentang rasa yang mengurungku
sekian lama
Mari bicara tentang rasa
Tentang rasaku pada dunia!
Salam
26 Mei 1999

2.
dear The Untouchable,
(eh, kenapa tdk diartikan “yang Tak tersentuh”?
kedengaran lebih ritmis, tuh!
;) Cuma usul, kok).

aku tahu ngobrol di dunia maya gitu sah-sah saja
boong, ga serius nd so on
tapi percakapan tentang kebebasan kemarin terus terang
aja terus menghinggapiku
karena “kebebasan” termasuk salah satu
‘thesis’(ku) tentang
hidup(ku)
kalo kau tau, aku memuja kebebasan
tapi tak lantas membuat
aku jadi hedonis,
aku tahu dan sadar bahwa kebebasan
(ku) selalu berbatasan dengan kebebasan orang lain,
aku setuju kalo Frankl
bilang satu-satunya kebebasan
yang tak ada sesuatupun yang bisa
menghalanginya
adalah
kebebasan menentukan pilihan!
Pilihan buruk sekalipun!

Allah saja membebaskan hamba-Nya memilih
Allah, Sang Pencipta Jagad Raya, bahkan memberikan kebebasan mutlak untuk memilih kepada manusia.

“Jika ingin beriman, maka berimanlah.
Jika ingin kafir, maka biarlah dia kafir!”

Tetapi ADA akibat dari pilihan itu:
Adalah ber-TANGGUNG JAWAB terhadap pilihan.

Menurutku seperti:
“pelaksanaan diri dengan mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang ada.”

(sebuah lingkaran, pembatasan, kerangka, kontrol).

manusia dan hewan hakikatnya sama: Binatang
yang membedakan hanya Manusia adalah BINATANG BERAKAL!

Kalo ga ada aturan bagaimana seseorang bisa menjadi?

Akal menelurkan aturan, tanpa itu manusia sama dengan hewan!

Tanpa aturan tak ada kontrol.

dan Bagaimana hidup tanpa kontrol?

kalo bagimu agama bukan kerangka yang harus diikuti,
bukan batasan,
lantas apa?
Warisan,
Pilihan,
atao belenggu, kekangan?

Mungkin!

tapi seperti kataku
“aturan itu membelenggu kebebasANku ketika aku membiarkan dia MENGIKATKU.”

tapi ketika
“aku MENG-IKAT-KAN DIRI dalam aturan, aku merasa bebas.”

Jadi, mana batas kebebasan?

Sori, 'Ka.
aku terlalu banyak bicara.

Kadang-kadang menjadi orang kuat itu melelahkan!

Hope God Bless u,

Salam,


A. P. F.

      
    
     
   
   
   
     

Friday, August 25, 2006

kebebasan

...dan kebebasan adalah pelaksanaan diri dengan mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang ada."

(Kelompok KAIT, Pameran fotografi "FREE". Purnabudaya Jogja, April 1999)



kalimat indah itu saya temukan dalam sebuah spanduk kecil ketika kaki saya melangkah masuk ke ruang pameran. kalimat itu terus terang demikian mengikuti saya berwaktu-waktu selanjutnya. ketika beberapa tahun kemudian Indonesia diguncang issu kebebasan, berawal dari kritik kepada goyangan gebor milik Inul. Segala orang pada saat itu berkomentar. Bahwa yang manusia Indonesia butuhkan adalah kebebasan berekspresi.

Bahwa yang dibutuhkan adalah kebebasan menunjukkan diri sendiri.

Pertanyaannya adalah; bagaimana kebebasan itu harus menjadi sementara kebebasan tidak pernah mewujud menjadi mutlak?



Ada baiknya saya kembali pada kalimat Kelompok KAIT di atas. Bahwa kebebasan sebenarnya hanya dibatasi oleh satu: kemungkinan. Jika kemungkinan itu tidak ada maka hilanglah kebebasan. Pertanyaan selanjutnya mungkin, kemungkinan yang bagaimana? Kemumgkinan itu terletak dalam kebebasan yang terbingkai dalam suatu pilihan.



Seorang ahli kebermaknaan hidup menyatakan bahwa ada satu kebebasan manusia yang tidak dapat diambil, adalah kebebasan menentukan pilihan! Apa sebab? Sebab pilihan itu yang akan mengikatnya dalam kebebasan.



Seorang yang memilih menjadi penulis, misalnya, dia hanya memiliki kemungkinan mengungkapkan apa yang dia rasa dan pikirkan lewat tulisan bukan gambar, seorang fotografer menyatakan lewat karya fotonya bukan lewat suara dan seterusnya.



Bagaimana pengejawantahan kalimat itu dalam kehidupan kita?

Jika saya memilih menjadi seorang muslim, misalnya, maka saya harus mengikuti arah pilihan saya. Misalnya dengan memberikan pertanyaan kepada diri saya sendiri, 'apakah bergoyang ddepan banyak orang yang nota bene bukan apa-apa saya dibolehkan oleh nilai yang telah saya pilih?' apakah melakukan free seks diijinkan oleh pilihan saya? Dan seterusnya.



menurut saya, pertanyaan itulah yang pertamakali mesti ditanyakan, bukan apakah larangan itu melanggar kebebasan saya?



Jika tidak ingin terbawa dalam aturan itu, silahkan saja keluar dari aturan, dari pilihan dan memilih aturan lain.



Jika ingin jadi muslim, maka jadilah muslim.

Jika ingin jadi penulis, jadilah penulis.



(ayya, 23 Agustus 2006. 05.59 pm)

Tuesday, August 22, 2006

puisi2 pendek

Diri



Keakuanku,

adalah seribu tanya

yang terucap lewat bibir-bibir mungil

di antara taburan senyum

Keakuanku,

adalah jiwa-jiwa terkapar

aku, tahu, ada

dan akan datang

sekarang, besok atau

kapanpun.

21 juni 1993

Aku Bertanya
Sajak Fikri Aya
Kakiku bertanya di mana letak keadilan
telunjukku menjawab,
ada di sana
Pergi dan carilah
dia menuding langit
Tanganku bertanya apa itu cinta
telunjukku menunjuk hati,
bertanyalah pada-nya
mengapa ia masih sering
membuat perbedaan berganti-ganti
Mataku bertanya
apa yang diperbuat manusia
dengan akal dan
hatinya
Tapi bibirku hanya
menjawab tak tahu apa-apa
Lidahku bertanya mengapa
cita - rasa kami berbeda
kepalaku menggeleng lupa
Rasaku bertanya,
mengapa aku hanya boleh singgah
di tempat yang jauh dari
wangi parfum kota
Hidungku menjawab karena.
Hatiku bertanya mengapa tempatku
jauh dari wangi sorga
Aku menjawab,
karena
aku juga hanya
mencium bau amis dan anyir darah
atau dentum senjata yang hanya
membuat semuanya bertambah
parah!
8 juli 1995

Kesunyian
Sajak Aya Fikri
aku dijemput kereta
dengan masinis seekor kuda
dan penumpang yang langka
tidak ada yang kukenal
tapi aku merasa, ada
ketika
semua sibuk bercengkerama
aku dijemput kereta
dengan masinis se-ekor kera
sementara penumpangnya
hanya seorang naga
aku maju mencoba
oh, dia tak
acuh saja!
6 juli 1995


SELA
Seekor burung dengan sayap berkibar
menukik di depanku
aku tersenyum
melihat kakinya yang patah
8 july 1995


Hari Semakin Menua
Sajak Aya Fikri
Sebuah gigi rontok
hari semakin menua
Sebuah dinding roboh
hari semakin menua
Gigi hari runtuh
hari semakin menua
juli 1995

(Catatan: puisi-puisi ini pernah dimuat di cybersastra.net pada 2002)