Sunday, July 19, 2009

Negeri Para Pezina (?)

Saya tidak tahu hukum apa yang berlaku di negara tetangga negeri impian ini. Saya kira sebuah hukum diberlakukan untuk sebuah kemaslahatan, sebuah kebaikan bagi seluruh ummat manusia. Apalagi jika itu berjuluk hukum dari Allah, tuhan segala tuhan manusia. Lalu saya mendengar sebuah media memberitakan sebuah penggerebekan atas perbuatan tuna susila yang dilakukan oleh dua orang manusia yang berbeda jenis. Hukuman apakah yang tepat untuk dua makhluk yang sedang berasyik-masyuk itu? Cukuplah jika mereka dinikahkan saja, apalagi jika kemudian ada jabang bayinya. Mereka justru mendapatkan selamat atas karunia yang dipercayakan kepada mereka. Jadi?

Ternyata hukum yang berlaku atas mereka adalah hukuman sosial, bukan hukum Tuhan. Dengan kata lain, secara hukum yuridis perbuatan itu adalah syah, karena mereka melakukannya berdasarkan suka sama suka. Dan karena tidak ada yang merasa dirugikan maka itu juga tidak masuk hukum perdata, apalagi pidana.

Kemudian muncul cerita tentang pernikahan dini, pernikahan dibawah umur. Atau seperti itulah pemerhati anak mengatakannya. Hak anak harus dilindingi, anak tidak boleh tercerabut dari dunianya dan sebagainya. Yang mengherankan saya tentu saja kemudian adalah hukuman yang diberlakukan atas mereka. Padahal mereka suka sama suka, padahal restu orang tua dikantonginya (itu kan syaratnya). Yang salah hanyalah usia si gadis yang menurut undang-undang manusia masih “balita”, padahal dia sudah lama mengalami menstruasi pertama.

Barangkali hukuman itu benar, karena tentu saja mereka menyalahi aturan negara tempat mereka tinggal. Tetapi sebuah pertanyaan kemudian menggelitik benak saya:

kasus I:
disebuah talk show ditampilkan seorang ayah yang tidak dihukum padahal dia menggauli putrinya sejak anak gadisnya berusia 9 (sembilan) tahun.


Kasus II:
seorang pengusaha dihukum karena dia menikahi gadis berusia 13 (tiga belas) tahun. Apakah kejadian itu sesuai hukum?

Pertanyaan besarnya kemudian adalah: apakah Hukum justru melindungi para pezina dan menghukum pelaku syari’ah?

Astaghfirullah, jika benar begitulah pemimpin di negara tetangga negeri impian itu mengatur hukum mereka apakah mereka sengaja akan membangun negeri para pezina?

HAREEM: POTRET KELUARGA MUSLIM DALAM SINEMA?

Penggemar karya sinema tentu tidak asing dengan berbagai suguhan sinema khas Indonesia. Mulai dari tayangan drama televisi berseri yang memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Atau suguhan layar perak yang saat ini tengah menggeliat dari tidur panjangnya.

Sebut saja film yang diangkat dari novel Abidah Al Halieqi berjudul “Perempuan Berkalung Sorban” yang ramai dibicarakan. Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini menuai protes dari berbagai kalangan, terutama kalangan pesantren karena dianggap tidak mencerminkan nilai Islam sesungguhnya. Padahal sang sutradara sendiri sangat yakin bahwa justru nilai yang diangkat dalam karya itulah yang seharusnya digunakan. Bahwa perempuan tidak hanya tersekat dalam dinding rumah.

Salah satu hal yang menyebabkan persoalan ini akhirnya naik ke permukaan adalah kurangnya pemahaman tentang konteks keislaman, yang menyedihkan justru ketidaktahuan ini dialami oleh ummat Islam sendiri. Jika demikian itulah potret yang diumumkan dalam media, tentu tidaklah mengherankan jika penganut agama lain menganggap Islam adalah agama yang yang tidak adil dan tak mengenal kasih sayang. Mari kita mencoba melihat salah satu sinetron yang pernah ditayangkan salah satu stasiun teve swasta nasional.

Seorang lelaki muslim tentu saja halal dan dihalalkan oleh Allah menikahi lebih dari satu perempuan muslim, tentu saja dengan berbagai syarat sesuai syari’ah. Termasuk diantaranya bagaimana suami mampu berbuat adil pada para istri-istrinya; dan adil tidak hanya dalam pemenuhan materi tetapi juga pemenuhan non materi. Dan apakah potret keadilan itu yang disuguhkan?

Umat Islam layak merasa kecewa ketika menyaksikan tayangan itu, bahkan jika hanya salah satu serinya. Jika informasi yang didapat (terutama oleh para istri dan perempuan calon istri) adalah suami yang menikahi lebih dari satu perempuan akan bersikap tidak adil pada istri-istrinya, seorang suami yang menikahi lebih dari satu istri sangatlah payah sehingga dia akan gampang marah meledak-ledak pada istri-istri dan atau anak-anaknya, maka tidaklah mengherankan mengapa seorang kiai yang menikah kembali secara syah justru tidak mendapatkan simpati dari para ibu.

Padahal sungguh kekerasan, ketidakpercayaan seorang suami pada istrinya yang diangkat dalam sinema itu sangatlah tidak Islami. Lalu mengapa tak ada seorangpun yang berteriak menghentikannya? Apakah karena tayangan yang disaksikan keluarga setiap hari dianggap tidak akan memberikan pengaruh pada para penontonnya?

Jika adegan kekerasan oleh seorang suami yang selalu berjubah yang selalu disuguhkan pada para pemirsa, maka tidak heran jika predikat teroris melekat pada ummat Muhammad. Padahal menurut hemat saya jika anggapan miring yang tidak benar melekat pada sebuah masyarakat Islam, harusnya sinema-sinema yang mengusung Islam dalam suasananya benar-benar memotret kehidupan muslim yang sesungguhnya. Mungkin kita tidak akan mampu menerapkan semua pola hidup yang dilakukan Rasulullah S.A.W. tapi bisakan kita mereduksi kekerasan yang sama sekali tidak diajarkan dalam Islam pada karya-karya sinematografi?

Seperti yang sutradara Choirul Umam katakan, jika sutradara mengangkat kehidupan Islami, maka hendaknya dia memiliki penasehat dari orang yang benar-benar mengerti tentang Islam. Bukan hanya dari penafsirannya sendiri.

Lalu bagaimana dengan gambaran para muslimah sendiri? Gambaran muslimah dalam sinema sungguh sangat mengecewakan. Muslimah bahkan yang menutup rambutnya, digambarkan sebagai seorang perempuan yang selalu merasa iri, mengusung kekerasan dalam hubungannya dengan orang lain, bahkan dengan saudara seiman.

Jika sangkalan dari gambaran adegan di atas adalah, bisa saja ada muslimah keji seperti itu, manusia kan tak semuanya lurus. Mari kita perhatikan sebuah sinema lain, seorang perempuan muslim yang memutuskan menutup auratnya bahkan dia memakai cadar untuk menutupi wajah ayunya dari pandangan laki-laki bukan muhrimnya, apakah lantas akan memilih berkain kebaya yang membentuk tubuh dalam acara pernikahannya? Lebih lucu lagi, dengan berkain kebaya tapi dia masih menggunakan cadar penutup muka. Adakah seorang bercadar rela memperlihatkan bentuk tubuhnya? Lalu untuk apa tidak memperlihatkan wajah jika bentuk tubuh masih dipertontonkan?

Sekarang pertanyaannya adalah jika “Perempuan Berkalung Sorban” diharuskan melakukan banyak perubahan bahkan pencekalan tayang, bagaimana dengan “Hareem”? Betulkah itu potret seorang suami muslim? Bagaimana dengan “Muslimah”? apakah perempuan-perempuan berkerudung disana benar-benar berlaku seperti seorang perempuan muslim? Bagaimana dengan sinema-sinema “Islami” lainnya?

Mungkin segala adegan diatas hanyalah sedikit potret bagaimana sinema Indonesia menggambarkan Islam dan para penganutnya dalam sebuah karya. Dan rasanya memang ada yang harus menyikapi segala kenyataan yang selama ini merajai anggapan kita. Mungkin perlu ada batasan baru tentang keislaman (yang menunjukkan Islam sebenarnya) dalam badan sensor perfilman Indonesia. (ayy. 150309.23:20)