Wednesday, January 24, 2007

TIRAI HUJAN

Oleh Aya Perempuan Fikri

"Bukan begitu, Pra. Aku bukan tidak mau menjelaskan dengan jujur pada teman-teman. Aku hanya tidak ingin mereka tahu siapa kamu."

"Tapi kamu tersiksa dengan caramu itu, Wie."

"Ya. Tapi aku lebih suka melakukannya. Karena aku tahu apa yang terjadi jika mereka mengerti siapa kamu sesungguhnya. Sebagian akan menatapku iba, dan yang tidak mau tahu akan mentertawakan aku atau menganggapku gila."

"Kau tidak bisa bersembunyi dibalik kebohongan terus menerus."

"Jika nanti aku sudah tidak sanggup menghadapinya, aku akan mengakhirinya pada seseorang yang layak untuk aku percayai."

"Wie...."

Widuri tersentak. Ballpoint ditangannya terpelanting jatuh. Bergegas diselipkannya kertas itu.

"Ada apa, Ma," diseretnya langkah mendekati pintu.

"Lala datang. Dia menunggumu di teras samping."

Widuri mengangguk. Ah, La, apakah aku akan bertanya lagi tentang siapa Pradipta? Maafkan kalau aku tidak bisa jujur kali ini.

"Hai, La. Kenapa tidak masuk?"

"Hanya sebentar. Hanya mengantarkan undangan pernikahan Mas Bram. Dan kau harus datang bersama Pradipta-mu."

"Apa?"

"Hai, sejak kapan kau mendadak tuli, Sayang?" Lala tertawa.

"Mas Bram bilang kau harus hadir bersama Pradipta.”

"Tidak," geleng Widuri. "Aku tidak bisa."

"Mengapa tidak ?" alis mata Lala bertemu.

"Kau belum pernah mengenalkannya pada kami, kan?"

"Sudahlah. aku tidak dapat menjelaskannya."

Lala tersenyum, selalu dicobanya untuk mengerti sahabatnya itu. "Aku pulang, Wie. Masih banyak undangan yang harus aku antarkan."

Aku mengecewakanmu lagi, La. Tapi itu akan terus terjadi selama aku tidak bisa melepaskannya. Atau menemukan penggantinya. Dihempaskannya tubuh ke dipan. Pradipta. Pernikahan Mas Bram. Pradipta. Pernikahan....

"Kau lihat, Pra. Semua orang mempercayai cerita tentangmu, mempercayai aku. Tapi berapa banyak yang telah aku bohongi ?"

"Kau harus belajar melupakan aku, Wie. Aku tidak bisa mengasihimu seperti yang kau kira."

"Aku cukup bahagia memilikimu, Pra."

"Kebahagian macam apa ? Kisah-kisah yang kita rajut hanya semu. Tak berbentuk, tak berwujud."

”Tapi aku bangga, aku bahagia. Meskipun aku sendiri tak pernah tahu kebanggaan macam apa yang aku miliki. Atau kebahagian yang bagaimana."

"Lupakan aku, Wie. Akan ada sosok lain yang mencintaimu. Dan kau tak perlu lagi meraba bayangan kasihnya. Kau akan merasakan kehadirannya."

"Tidak akan selembut kasihmu."

"Karena kau tak mau mencarinya." "Untuk apa aku mencari yang lain, jika aku sudah memilikimu? Aku bahagia bersamamu."

"Sebuah kebahagian gila! Tidak sadarkah kau, Wie, bahwa kebahagianmu adalah kesia-siaan?"

"Entahlah, Pra. Aku penat hari ini, aku malas berpikir. Selamat malam." Ditutupnya diari putih yang selama ini setia menemaninya. Aku menyayangimu, tapi apakah aku juga mencintaimu? Entahlah sulit sekali mengatakan arti perasaanku.

"Wie, ada salam dari Mas Rudi," hadang Ratri sepulang kuliah siang itu.

"Oh ya, terima kasih. Bagaimana kabarnya?"

"Dia selalu menanyakanmu. Kapan kamu main ke rumah, bagaimana kamu di kampus, apa...."

"Dan kamu jawab semuanya?" Widuri melebarkan mata tak percaya. "Kamu tega sekali." Ratri tertawa.

"Apa salahnya? Mas Rudi baik, penuh perhatian, setia dan...ganteng !" Widuri tersenyum. Dihelanya nafas panjang. "Tri, aku tahu kak Rudi sebaik yang kau katakan, tapi ada sesuatu yang membuatku tidak bisa menerimanya. Aku yakin kak Rudi mau mengerti seperti yang dulu dikatakannya padaku. Aku mempercayainya."

"Sesuatu .... Seorang cowok lain?" "Tidak." "Wie...." "Mbak Ony!" Widuri berpaling. "Maafkan aku, Tri. Tapi ada yang harus aku bicarakan dengan Mbak Ony. Besok kita sambung percakapan kita. Salamku untuk Kak Rudi." "Sudah kamu coba melupakannya?" Leony bertanya. "Sudah. Tapi saya menghadirkannya lagi jika saya merasa sendiri dan tidak dihargai." "Mbak Ony tak mengerti." "Di rumah, saya tidak diberi kesempatan mengekspresikan diri, bahkan tidak cara saya mengatur kamar. Jika saya pulang akan saya dapati kamar saya berubah. Begitu juga untuk kepulangan saya berikutnya." "Ibu juga melakukannya pada kakak dan adik saya. Tapi mereka laki-laki. Mereka bisa mencarinya diluar rumah. Saya? saya tidak bisa. Ada sesuatu yamg membuat saya tidak bisa melakukannya." "Lalu kau hadirkan Pradipta?" "Apakah saya salah, jika saya dapatkan yang saya cari dalam dunia saya sendiri ? Apa salah jika orang yang dapat mengerti saya hanya ada dalam mimpi saya, kemudian saya menghadirkannya?" "Maafkan mbak Ony jika harus katakan kamu salah, Wie." Leony menarik napas panjang. "Saya mengerti. Saya berusaha menghentikan mimpi itu, saat ini. Atau bagaimana jika saya mencari penggantinya, seseorang yang nyata?" "Itu juga boleh. Tapi mari kita pikirkan efeknya, apakah kamu tidak akan menjadikan dia segalanya?" Widuri termenung. Rasanya yang dikatakan mbak Ony benar. Mencari dan menemukan penggantinya hanya akan membuatku memandangnya sebagai orang yang tahu segalanya. Sementara aku harus melupakannya, mengapa justru aku menghadirkan sosoknya? Memiliki seseorang sebagai pribadi itu sendiri mungkin lebih baik. Menerima setiap kekurangannya karena selama ini Pradipta yang dibentukkan adalah sosok yang sempurna. "Barangkali itu benar, Mbak," desis Widuri pelan.

Tangannya menjangkau gelas di meja dan mereguk habis isinya. "Well, kita coba lagi, Wie. Semoga kau berhasil. Jangan terlalu terpaku padanya. Mbak Ony lihat, kamu tergantung pada dirinya." Leony tersenyum. Matanya berputar menggoda ketika dari sudut gedung dilihatnya Teddy berjalan kearah mereka.

"Mahkluk itu juga kau pertimbangkan sebagai pengganti?"

"Hei, Teddy milik Mbak Ony, kan ?" Widuri tersenyum. "Saya harus mencari buku di perpustakaan. Mbak Ony sudah ada teman, kan. Jaga Mbak Ony, Dy!"

“Kamu tergantung padanya. Kalimat itu yang selalu mengikuti langkah Widuri. Tergantung. Alangkah memalukan, selama ini selalu diajarkan kepadanya untuk tidak meminta bantuan orang lain selagi mampu. Dan dia sekarang tergantung pada Pradipta.

Kalimat terakhir yang diucapkan Leony itu membuat Widuri bertekad untuk melupakannya. Mengubur mimpinya, tentang seorang kakak yang menyertai hari-harinya, karena setelah sekian waktu yang didapatnya justru kelukaan yang lebih dalam. Tetapi alangkah sulit. Melupakan sesuatu yang selama ini dekat dengannya adalah suatu hal yang hampir mustahil. Perjalananku masih panjang, Pra. dan aku harus belajar untuk mengarunginya sendiri. Tanpa siapapun. Bahkan tanpamu. Tanpa hatiku. Aku ingin ini adalah hari-hari terakhirku bersamamu. Aku ingin dapat melupakan kisah kasih yang telah kita rajut. Meskipun aku sadar, mungkin kisah ini adalah bagian dari kegilaanku karena kau tak pernah tahu. Widuri terguguk di tempatnya. Di tangannya tergenggam selembar gambar buram. "Widuri" Panggilan yang asing ditelinganya. Digerakkannya kepala. Di depannya berdiri sosok asing. Mana Ratri? Anak itu tak juga muncul. Dia harus mengadakan perhitungan besok, ini gara-gara dia, berjanji dan buntutnya.... "Kamu benar Widuri, kan?" suara cowok itu kembali mengusik gendang telinganya. Oh, Ratri juga harus mempertanggungjawabkan kejadian ini. Ini pasti satu dari perbuatan isengnya. "Ya," jawabnya tak acuh. Matanya kembali menatap jalan raya. Mana mahkluk mungil itu? "Tria meminta saya mengantarkan ini." Cowok itu menyodorkan selembar kertas padanya. "Tria...?"

"Maksud saya Ratri." "O, ada apa dengan Ratri?" dibacanya notes ditangannya. Dihembuskannya nafas. Terlalu keras hingga cowok itu menoleh. "Ada apa?" "Ratri tidak titip pesan?" Pemuda itu mengangkat bahu. "Tidak. Tria hanya memintaku menyampaikan maaf, dia tidak bisa memenuhi janji." "Kamu pacarnya? Sampaikan pada Ratri saya akan menghubunginya nanti. Tentu saja kalau ingat." "Akan saya sampaikan," jawab pemuda itu seraya ngeloyor pergi. Itu kali pertama Widuri bertemu dengan Rudi. Kemudian di rumah kost Ratri keesokan harinya. Widuri baru saja mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu ketika pintu itu terbuka. "Maaf Ratri ada?" "Masuk saja, Ratri di dalam." Suara laki-laki! Diangkatnya wajah. "Kamu...." "Widuri, kan?" Laki-laki itu tersenyum."Saya kakak Ratri," sambungnya setelah melihat keheranan di wajah gadis itu. "Kak Rudi?" "Tria pernah bercerita tentang saya?" kening Rudi berkerut. Widuri tersenyum kecil. "Bukan hanya pernah. Sering!" "Apa saja yang diceritakannya?"

"Banyak. Saya kira dia mengagumimu." "Tentu saja," Rudi tertawa. "Ratri adik saya." Widuri mesem. Memangnya setiap adik mengagumi kakaknya?Kemudian percakapan mereka mengalir. Widuri tak mengerti bagaimana mungkin dia begitu cepat merasa akrab. Padahal.... "Kemajuan hebat terjadi!" Ratri tiba-tiba telah berdiri di depan mereka. "Mengagumkan. Dia biasanya selalu diam, apa yang kau berikan padanya sehingga berbicara sebanyak itu, Rud," sambung Ratri membuat pipi Widuri memerah. Rudi terbahak. "Kamu keterlaluan, Tri. Mengapa harus mengatakan itu di depan kak Rudi?" protes Widuri sengit. Setelah Rudi meminta ijin untuk pergi. Ada yang harus dikerjakan, katanya. Ratri hanya tertawa menanggapi. Dering weker di meja menyadarkan Widuri dari lamunan panjangnya. Pukul dua tepat. Ditariknya selimut, dia harus datang lebih pagi untuk menghadap dosen wali besok. "Adikmu?" Aldi bertanya dengan bibir dan matanya. "Ya, mengapa?" "Kalian sangat berbeda," tukas Aldi ragu. "Dia bukan adik kandungku, ada apa?" ." "Menarik, sepertimu. Siapa namanya?" Bola mata Leony membulat. "Apa yang kau katakan? Widuri menarik. Ya, aku harus sampaikan ini padanya." "Maksudmu?" Aldi menatap tak mengerti. "Widuri merasa tidak seorangpun mau menjadikannya sebagai sahabat. Apalagi sebagai...." Leony tecekat. Hampir saja! "Sebagai apa?" Diangkatnya bahu, "Aku harus pergi. Dadah, Aldi." Dihempaskannya nafas. Hampir saja dibongkarnya sesuatu yang selama ini disimpannya. Seperti janjinya pada Widuri. Widuri. Dia gadis yang menarik. Hanya Widuri tidak pernah mau melihatnya. "Saya merasa setiap orang yang berbicara dengan saya merasa bosan. Bahkan saya tidak berani memastikan bahwa mbak Ony menyukai percakapan kita ini," kata Widuri suatu ketika dengan pandangan putus asa. "Mengapa?" kening Leony berkerut. Dia tak mengerti anggapan itu. Seperti Leony tidak mengerti pemiliknya, meski setelah kedekatan mereka. "Yang saya bicarakan hanya dari hal itu ke itu."

"Kamu tidak membicarakan hal ini pada setiap orang, kan?"

"Tentu saja tidak !" alis mata Widuri bertemu.

"Lalu ?"

"Saya ingin seperti Nena, Aida, atau yang lain."

"Ada apa dengan mereka ?"

"Saya ingin bercerita tantang film terbaru, lagu terbaru dari bintang-bintang yang banyak digandrungi, dan banyak hal lagi. Seperti mereka," Widuri merendahkan nada suaranya.

"Widuri, menyukai musik dan film-film klasik bukan sesuatu yang memalukan. Mbak Ony kadang-kadang juga menyukainya."

"Tapi mbak Ony berbeda dengan saya," desis Widuri.

Kamu gadis yang menarik, Wie. Dan sekarang aku bawa bukti padamu. Yang tidak pernah dimengerti Leony adalah gadis itu, Widuri, suatu ketika terlihat demikian tegar tapi juga rapuh pada saat lain.

"Saya hampir melupakannya, Mbak."

Sebelum Leony mengatakan apapun, Widuri telah menghadangnya.

"Mbak Ony gembira, Wie," Leony tersenyum. "Karena seseorang ?"

"Bukan," Widuri menggeleng. "Tapi saya telah melupakannya. Meskipun belum seluruhnya."

"Kamu pergi ke plasa kemarin, kan? Dengan siapa ?" ujarnya merendengi langkah Widuri.

"Mbak Ony tahu ?" Widuri tak percaya.

"Mbak Ony ada di toko buku yang sama ketika kamu kesana bersama seorang cowok. Tapi kukira bukan kakakmu."

Kak Rudy, desis Widuri. Hari minggu kemarin memang digunakannya untuk mencari buku di Gramedia, bersama Rudi.

"Kakak Ratri."

"Kamu menyukainya?"

"Saya...." Widuri tersipu. "Mengapa Mbak Ony tidak menegur kami?"

"Takut mengganggu," bola mata Leony berputar menggoda. "Dia yang membuatmu ingin melupakan Pradipta?" Leony kembali serius. Widuri diam.

"Wie..."

"Bukan. Kak Rudi yang membuat saya ingin melupakan Pra. Saya menginginkannya sejak lama. Tapi ketika saya berpikir untuk menggantinya dengan sosok nyata, saya ingin dia kak Rudi. Ada sesuatu yang membuat saya menginginkannya."

"Cinta ?"

"Saya tidak tahu," Widuri menggeleng. "Saya hanya merasa suka dekat dengannya, menatapnya dan mendapatkan perhatiannya. Hanya itu. Dan itu bukan cinta, seseorang mengatakan cinta lebih dalam dari itu."

Leony terdiam. Entahlah, dia sendiri tidak dapat mengatakan bagaimana cinta itu sebenarnya.

"Menangis?"

Sebuah teguran kecil menyadarkan Widuri. Ditangannya tergenggam novel petualangan karya Enid Blyton berjudul Memburu Kereta Api Hantu.

Kening Rudi berkerut, "He, itukan cerita petualangan, apakah yang menyedihkan?"

Widuri menoleh, tersenyum, "Ini memang hanya cerita anak-anak. Tapi saya menyukainya."

"Sampai kau menangis?"

"Kasih sayang diantara mereka yang membuat saya menangis. Saya menyukai keakraban mereka dan ...saya iri."

"Kamu selalu terhanyut, dengan kisah-kisah seperti itu, Wie," disentuhnya sekilas lengan Widuri.

"Kak Rudi tidak suka?"

"Suka juga. Di rumah cerita Lima Sekawan bahkan menjadi bacaan favorit kami." Rudi tersenyum.

"Oh, saya kira hanya anak-anak macam saya yang menyukainya."

"Ya. Tapi kami tidak sampai menangis sepertimu,"

Kali ini tawa Rudi benar-benar pecah.

"He, jangan merajuk!"

"Kak Rudi pikir saya cengeng, kan?" diurainya lengan Rudi yang melingkar bahunya."

"Kak Rudi tidak pernah berpikir seperti itu, Wie. Jangan salah artikan omonganku, hanya bergurau."

"Tak lucu," sahut Widuri ketus.

"Hei," alis bagus Rudi berkerut. "Maafkan, Wie."

O, mengapa aku kembali melakukannya? Widuri menggelengkan dengan menyesal.

"Tidak. Saya yang seharusnya minta maaf."

Rudi tersenyum. "Ada apa?"

Widuri menggeleng.

"Ceritakanlah, Wie. Itu akan membuatmu tenang."

"Kak Rudi mau mendengar?" tanyanya ragu.

"Kau lupa kalau kak Rudi pernah berjanji padamu untuk selalu bersedia mendengarmu?"

"Saya meragukannya untuk kali ini."

"Begitu?"

Widuri mengangguk. Betapa Widuri ingin menceritakan semua keinginannya, memiliki seseorang yang mau mendengar.

"Berceritalah, Wie. kak Rudi akan mendengar."

"Kak Rudi mau menjadi kakak saya?" tanyanya pelan.

"Saya tahu permintaan ini membuat orang berpikir bahwa saya gadis murahan," sambungnya dengan ragu. Rudi menggeleng.

"Tapi saya tidak ingin hari-hari saya terganggu oleh sebuah bayangan mengerikan."

"Saya hanya ingin kak Rudi benar-benar menjadi kakak saya. Yang menegur jika saya salah, yang mengajari saya bagaimana seharusnya saya menghadapi hidup."

Widuri tertawa. Sumbang. "Cengeng, ya?"

"Kamu sungguh-sungguh, Wie?" ditatapnya Widuri tak percaya. "Ya. Tapi kak Rudi boleh menolak jika tidak mau. Saya tidak sedang meminta Kak Rudi menjadi pacar saya." "Kamu...." Rudi terbahak. "Kak Rudi terima permintaanmu kalau itu yang membuatmu bahagia."

Disentuhnya mata Widuri yang masih menatapnya tak percaya.

"Ya, Wie. Kak Rudi akan menjadi kakakmu, kita bersaudara. Akan kak Rudi ajarkan kepadamu bagaimana menghadapi semuanya."

Widuri tersenyum. Ternyata masih ada orang yang bersedia mengerti saya disini. Ditengah ketidakmengertian ini. Terima kasih ya Allah.



My empty empire, 19 Pebruari 1995, for days wit Pra, I luv u but I must go.

(dimuat di ANITA CEMERLANG edisi 572, april 1996)

No comments: